CERITA KEJUJURAN
JATI
Jati mengusap peluh yang bercucuran di dahinya. Setelah
satu jam lamanya ia berkeliling komplek perumahan untuk menawarkan barang
dagangannya, ia berhasil mengumpulkan beberapa lembar rupiah. Sudah tiga hari
ini, Jati berjuang keras untuk mengisi liburan sekolahnya dengan berjualan susu
kedelai buatan ibunya. Ia berkeliling komplek perumahan yang tak jauh dari
kampungnya. Ia belum akan kembali ke rumah sebelum semua dagangannya laku
terjual.. sekilas terbayang raut muka memelas wajah Asih, adik satu-satunya.
Jati
memang ingin mengumpulkan uang sekedar untuk membelikan obat adiknya, yang kini
terbaring lemah tak berdaya. Hanya itu yang bisa dilakukan Jati, mengingat
Ayahnya yang bekerja sebagai buruh serabutan tak mampu membawa Asih ke Dokter
apalagi Rumah Sakit. Pernah suatu ketika Asih dibawa ke Rumah Sakit karena
penyakit radang paru-paru yang dideritanya. Namun, belum sampai tuntas
pengobatannya Asih harus segera dibawa pulang karena tak kuat menanggung biaya
Rumah Sakit yang begitu mahalnya.
"
Alhamdulillah, daganganku laris hari ini. Susu kedelai buatan Ibu memang luar
biasa " Gumam Jati, setelah itu ia menghitung lembaran rupiah yang
berhasil ia kumpulkan hari ini. " Dua puluh ribu, Yess! Itu artinya aku
masih bisa menyisihkan uang untuk membeli obat buat Asih. Sabar ya dik, Aku
akan senantiasa berdo'a dan berusaha untuk kesembuhanmu. Supaya kita bisa
kembali bermain, belajar, mengaji abatatsa di Mushala, Ustadz Ahmad pun tentu
sudah kangen dengan celotehmu yang lugu dan lucu "
Jati terus berjalan menyusuri komplek perumahan menuju
rumahnya. " ini adalah hari yang menyenangkan bagiku, susu kedelai buatan
ibu terjual habis. Sore nanti aku akan kembali berkeliling, menjajakan minuman
kesehatan buatan ibuku tersayang. Dan siang ini aku masih bisa bermain layang-layang
bersama Sufyan. Sungguh liburan yang paling menyenangkan "
Ditengah-tengah
perjalanan menuju kampungnya, kaki Jati menyampar sebuah dompet. "Ups,..
dompet siapa ini?" tanya Jati keheranan. Dengan gemetar ia membuka isinya.
"Masyaallah, uang??!!" Jati semakin terperanjat kaget karena bisa
dipastikan ia tak pernah memegang atau memiliki uang sebanyak ini. Kepala Jati
menoleh kanan dan kiri, tak ditemuinya seorang pun. Keringat panas dingin
mendadak bercucuran dari dahi Jati. "ah... aku tak pernah memegang uang
sebanyak ini" gumamnya. "lalu milik siapa ini?!". Buru-buru jati
menyimpan dalam plastik hitam yang ia bawa. bergegas ia berlari menuju rumahnya
hendak bercerita kepada Ibunya.
Di
sepanjang perjalanan, Jati terus membayangkan seandainya ia punya uang sebanyak
ini tentu ia dan keluarganya tak perlu bersusah payah bekerja demi kesembuhan
Asih. Pikirannya berbisik, "Ambillah uang itu, toh tidak ada yang tahu
kalau kamu menemukan uang itu. Tak usah dikembalikan kepada pemiliknya. Pasti
ia orang kaya dan bisa dengan mudah mencari uang lagi. Sedangkan kamu, waktu
liburan saja kau gunakan untuk berkeliling komplek perumahan demi selembar uang
dua puluh ribuan. Ayo ambillah". Batin Jati terus bergejolak mendadak Jati
segera beristighfar. "Astaghfirullah, mengapa aku memiliki pikiran sepicik
ini. Bukankah uang ini bukan milikku, meski aku yang menemukannya dan tak
seorangpun tahu ". semakin keras Jati ayunkan langkah menuju rumahnya.
"Assalamu'alaikum"
ucap Jati ketika memasuki gubuk tuanya. "Wa'alaikum salam" jawab
Ibunya. "Bu, Ibu, aku menemukan ini bu" ucap jati kepada Ibunya, yang
tengah berdiri membukakan pintu. "Kenapa tho Le, koq teriak-teriak dan
kamu terlihat pucat sekali" jawab Ibunya. "Aku menemukan dompet bu"
ungkap Jati. "Dimana?" tanya Ibu dengan nada keheranan. "Di
komplek perumahan sepulang aku berjualan bu, dan jumlahnya aku belum sempat
menghitung tapi kupikir banyak sekali" Ibu terkejut mendangar cerita Jati.
Dengan terengah-engah Jati melanjutkan ceritanya. "aku tidak tahu bu,
dompet ini milik siapa. Dan aku belum sempat membuka seluruh isinya, aku takut
bu di tengah-tengah seluruh keterbatasan kita, kita menjadi gelap mata dan
ingin memiliki yang bukan hak kita. Maka aku bergegas kembali kerumah untuk
bercerita kepada Ibu. Ini bu dompetnya." Jati memberikan bungkusan plastik
hitam kepada ibunya.
Ibu sangat terkejut ketika melihat isinya.
"Masyaallah, pasti yang punya merasa sangat kehilangan uang ini Le. Coba
kamu lihat dan cari identitas atau tanda pengenal dalam dompet itu" sergah
Ibu Jati. "baik bu" Jati menimpali. "Ini bu, ada KTP tertera
nama dr.Heryawan SpOG alamatnya di Jl. Melati Blok C Nomer 5A Perum Limas.
Pasti dompet ini miliknya bu" jawab Jati. "Baiklah mari kita segera
kerumahnya, pasti dokter Heryawan sangat kehilangan".
Bergegas
Ibu Jati mematikan kompor di dapurnya. "Air ini sudah mendidih dan nasi
sudah tersedia kalau nanti bapakmu pulang dan kita tidak dirumah semua sudah
terhidang. Ibu akan menitip pesan kepada Asih biar nanti ia menyampaikan kita
sedang kerumah dokter Heryawan". Tukas Ibu Jati. Dengan sigap ia memberesi
seluruh pekerjaan di dapurnya. "Tapi Bu," Ucap Jati. "kenapa?
Apa yang kamu pikirkan Jati?" sergah Ibunya. "kita kan, bisa
mengambil beberapa lembar saja dari uang itu, toh pemiliknya juga pasti dengan
mudah akan mencarinya lagi, toh pasti ia orang kaya" dengan terbata Jati
berucap.
"Istighfar
Jati, Allah pasti akan marah jika kita melakukan hal ini. Ingatlah ini bukan
milik kita, bukan hak kita, meskipun kita sangat membutuhkannya. Ayolah
bergegas kita kerumah pemilik dompet ini, sebelum siang datang menjelang,
karena ibu masih harus menyiapkan susu kedelai untuk kamu jual lagi sore
ini" Ucap ibunya dengan nada tinggi.
"Astagfirullah, baiklah Bu" Jawab Jati dengan nada penuh sesal.
Jati dan ibunya berjalan menuju komplek perumahan Limas
untuk mencari alamat dokter Heryawan. Bukan hal yang sulit bagi Jati dan Ibunya
untuk menemukan rumah dokter Heryawan, toh hampir seluruh komplek perumahan ini
sudah pernah dijajahi Jati.
"Ini
pasti rumahnya bu, dr. Heryawan Jl. Melati Blok C Nomer 5A Perum Limas. Wah
bagus sekali rumahnya, asri dan sangat bersih"
"Assalamu'alaikum"
Ibu Jati mengucapkan salam. Tak lama kemudian dibukakanlah pintu dan datanglah
seorang bapak berkacamata. "Wa'alaikum salam, ada yang bisa saya bantu bu,
anda mencari siapa?" tanyanya. "Apakah ini benar rumah dokter
Heryawan?" tanya Ibu Jati. "Betul Bu, saya dokter Heryawan, silahkan
masuk dan silahkan duduk" jawab dokter Heryawan.
"Terimakasih" Jati dan Ibunya masuk kerumah dokter Heryawan. Mata
jati tak henti hentinya memandang kesekeliling ruang tamu dokter Heryawan.
"Begini
Pak, Anak saya, Jati pagi tadi ketika pulang dari berjualan menemukan dompet
ini Pak, dan didalamnya ada identitas nama bapak dan sejumlah uang yang kami
tidak membuka seluruh isinya" ucap ibu Jati memberikan penjelasan kepada
dokter itu.
"Oh Iya, Alhamdulillah. Benar bu, saya kehilangan dompet pagi tadi. Isinya
identitas saya dan beberapa surat-surat penting. Berarti Nak Jati ini yang
menemukan" ungkap dokter Heryawan.
"Betul Pak, tak sengaja sepulang berjualan keliling komplek ini, kaki saya
menyampar sesuatu ternyata dompet" ungkap Jati menjelaskan.
"Ini
Pak, dompetnya" Ucap ibu Jati sambil menyerahkan bungkusan plastik hitam
berisi dompet.
"Iya benar sekali, ini milik saya, Alhamdulillah masih rezeki saya. Isinya
juga masih utuh. Terimakasih banyak ya, Nak Jati dan Ibu, berkat nak Jati
dompet saya dan surat-surat penting itu masih utuh". ucap dokter Heryawan
dengan nada syukur.
"Sebelumnya, saya boleh tahu Ibu rumahnya dimana? Dan nak Jati berjualan
apa keliling komplek ini?" tanya dokter Heryawan.
"Saya sekeluarga tinggal di kampung sebelah pak, tidak jauh dari komplek
perumahan ini. Dirumah saya membuat susu kedelai untuk dijual Jati di sekitar
komplek ini". Jawab Ibu Jati
"Baiklah
Pak, kami segera pamit" ucap ibu Jati.
"Tunggu sebentar bu" dokter Herywan masuk kedalam dan keluar dengan
membawa bungkusan plastik berwarna hitam. "Ini ada sekedar oleh-oleh buat
keluarga Ibu dirumah dan ini buat nak Jati" dokter Heryawan menyerahkan
bungkusan platik hitam kepada Ibu dan menyerahkan amplop kepada Jati.
"Tak usah repot-repot Pak, ini sudah kewajiban kami" jawab Ibu Jati
sambil berpamitan.
"Tidak apa-apa bu, sekedar ucapan terimakasih. Dan saya akan sangat senang
jika ibu bersedia menerimanya. Jangan lupa sering-seringlah bertandang kerumah
ini."
"Baiklah Pak, terimakasih kami akan segera berpamitan pulang" jawab
Ibu
"Ya bu terimakasih kembali. Tapi sebentar bu, biar saya antarkan
pulang" ucap dokter Heryawan.
"Tidak usah Pak, khawatir merepotkan saja. Sekali lagi terimakasih. Rumah
kami tidak terlalu jauh koq. Assalamu'alaikum " bergegas Jati dan Ibunya
berpamitan.
Disepanjang perjalanan Jati
tak henti-hentinya bersyukur dan berucap terimakasih. Bukan karena lantaran
amplop yang ia terima tadi. Tetapi ia lebih bersyukur karena dikaruniai sesosok
ibu yang luar biasa. "Terimakasih ya Allah, engkau karuniakan aku seorang
ibu yang baik, yang akan terus mendidik, membesarkan dan mengingatkanku ketika
salah serta menuntunku dalam menjalani hidup ini" Gumam Jati penuh